KPU Tanah Datar Lakukan Rakor Pemutakhiran Data Partai Politik Berkelanjutan | Selengkapnya | PENGUMUMAN PENDAFTARAN PEGAWAI PEMERINTAH NON PEGAWAI NEGERI (PPNPN)

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Santri dan (Tradisi) Demokrasi

Oleh: M Afifuddin Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Di tengah kesalahpahaman sebagian pihak terhadap praktik kehidupan di pesantren, negara melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan ini merupakan penghormatan negara terhadap kiprah kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa. Menanggapi kondisi negeri hari ini, terutama terkait pesantren, penulis yang juga kaum santri teringat dengan artikel KH Abdurrahman Wahid, ”Pesantren sebagai Sub-Kultur” (1974). Artikel ini memiliki relevansi saat kini, di tengah kesalahpahaman terhadap kultur pesantren yang dinilai feodalistik dan antidemokrasi. Artikel Gus Dur pada dekade awal Orde Baru itu melakukan koreksi terhadap kesalahpahaman pemerintah terhadap pesantren waktu itu. Atas nama pembangunan dan modernisasi, pesantren dinilai sebagai lembaga dan kultur keislaman yang terbelakang serta menghambat pembangunan. Kultur yang berorientasi pada keakhiratan, serta model kepemimpinan kiai yang patronatif menjadi argumentasi bagi penilaian kemunduran ini. Gus Dur melalui artikel tersebut mengoreksi kesalah-bacaan teknokratisme Orde Baru itu. Melalui metode interpretivisme simbolik dalam studi budaya, Gus Dur sebagai santri melakukan penafsiran dari dalam kultur pesantren yang tidak bisa dilakukan kaum luar. Ia lalu menggunakan konsep subkultur untuk menjelaskan kultur pesantren yang unik. Subkultur Gus Dur definisikan sebagai sub dari kultur mayoritas yang terpisah, unik, independen, tetapi bisa memengaruhi kultur mainstream tersebut. Terdapat tiga ciri utama subkultur pesantren menurut Gus Dur. Pertama, sistem nilai yang unik yang mengacu pada asketisisme berdasarkan sistem keilmuan Islam yang Gus Dur sebut fiqh-sufistik. Sistem keilmuan fiqh-sufistik mengacu pada penggabungan fiqh (hukum Islam) dan tasawuf (spiritualitas). Ini memuat dua prinsip kehidupan sekaligus, yakni rasional dalam tata sosial dan spiritual pada level personal. Sistem fiqh-sufistik ini melahirkan kaum santri yang rasional dalam konteks hukum, tetapi asketik dalam orientasi hidup. Asketisisme ini yang salah dipahami pemerintah Orde Baru karena tidak berorientasi keduniawian. Kedua, perilaku yang unik, yang lahir dari sistem nilai unik tersebut. Misalnya, pembagian waktu yang mengikuti proses belajar-mengajar (pengajian) dan jadwal shalat. Hal ini membuat kaum santri aktif di malam hari karena seharian sibuk mengaji. Termasuk dalam hal ini ialah penghormatan kepada kiai sebagai ahli ilmu agama karena para santri mengutamakan ilmu agama demi kesuksesan di dunia dan akhirat. Ketiga, model kepemimpinan kiai yang unik. Di pesantren, kiai diposisikan tidak hanya sebagai guru atau dosen, tetapi juga pembimbing intelektual dan spiritual. Ruang lingkup pengajaran kiai tidak terhenti pada ilmu pengetahuan, tetapi juga kematangan spiritual. Inilah yang membuat kiai sangat ”powerful” bagi santri karena ia melingkupi keseluruhan hidup santri. Bahkan, ketika para santri telah lulus dari pesantren. Subkultur kenegaraan Berdasarkan penjelasan Gus Dur ini, maka penilaian terhadap pesantren tidak bisa parsial, tetapi mesti menyeluruh melalui perspektif subkultur ini. Sebab, pada ranah kebangsaan dan kenegaraan, subkultur pesantren berperan besar dalam kemerdekaan, pendirian negara, dan keberlangsungan bangsa ini. Peran inilah yang dipahami oleh pemerintah sehingga menetapkan Hari Santri Nasional sebagai salah satu bukti pengakuan. Menariknya, subkultur pesantren tidak hanya beroperasi di dalam pesantren, tetapi juga pada ranah kebangsaan dan kenegaraan. Pada masa kritis menjelang penetapan dasar negara sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, Kiai Wahid Hasyim, abah Gus Dur, menggunakan logika subkultur dalam mengatasi krisis tersebut. Logika itu ialah kaidah fiqh (legal theory) yang digunakan untuk merespons dorongan Bung Hatta agar kelompok Islam mau menerima sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pengganti ”tujuh kata” Piagam Jakarta. Kiai Wahid menggunakan kaidah ma la yudraku kulluhu la yutraku julluhu. Artinya, ’apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, jangan ditinggalkan prinsip dasarnya’. Dalam konteks itu, ketika syariah Islam gagal diterapkan dalam dasar negara, maka keberadaan nilai tauhid dalam sila Ketuhanan YME membuat umat Islam tidak boleh meninggalkan dasar negara itu. Dengan demikian, berdasarkan pemaknaan bahwa sila Ketuhanan YME adalah tauhid, Kiai Wahid membangun argumentasi bagi kelompok Islam agar menerima Pancasila, bukan Piagam Jakarta. Bayangkan jika tidak ada argumentasi Kiai Wahid, maka kita tidak akan memiliki Pancasila dengan sila Ketuhanan YME, yang bagi umat Islam bermakna tauhid, tetapi pada saat bersamaan, terbuka bagi semua agama untuk memiliki sila ketuhanan yang inklusif tersebut. Dalam konteks pemikiran politik, kaum santri juga menggunakan logika subkultur yang unik. Ketika sebagian besar khazanah Islam mengabaikan hak asasi manusia (HAM), tradisi pesantren justru menjadikan HAM sebagai parameter utama dari tujuan utama syariah (maqashid al-syari’ah). Hak hidup dan hak berpikir menjadi nilai-nilai utama, di samping hak beragama, kehormatan, dan kepemilikan. Atas dasar HAM inilah, para pemikir pesantren merekomendasikan demokrasi sebagai satu-satunya sistem politik yang mampu menjamin tujuan syariah tersebut. Ini yang membentuk pandangan dunia Islam (Islamic world view) yang menyatukan tiga ide, yakni demokrasi (syura), persamaan (musawah), dan keadilan (’adalah). Demokrasi merupakan sistem utama yang menopang prinsip persamaan warga negara di hadapan hukum demi tegaknya keadilan sosial. Berdasarkan pandangan dunia Islam ini, maka kalangan pesantren justru menolak Negara Islam karena rawan terhadap pelanggaran nilai-nilai demokrasi, persamaan hukum, dan keadilan sosial. Bagi kalangan Islamis, logika ini tentu di luar konsep umum politik Islam karena terkesan menolak formalisme Islam. Sedangkan bagi teori politik sekuler, logika ini juga ”di luar nalar” karena menggunakan argumen agama dalam menguatkan demokrasi. Atas sumbangan pemikiran, sikap politik, dan gerakan kebangsaan dari kaum pesantren inilah, maka antropolog seperti Robert W Hefner dalam Civil Islam, Muslims and Democratization in Indonesia (2000) telah lama menempatkan pesantren sebagai ”lumbung intelektual” bagi kuatnya ”Islam sipil” (civil Islam) di Indonesia. Sebuah corak keislaman demokratik yang sangat dibutuhkan untuk menguatkan demokratisasi di negeri Muslim terbesar ini. Jihad demokrasi Dalam rangka Hari Santri Nasional 2025, kaum santri memang perlu menguatkan perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Resolusi Jihad yang pernah dideklarasikan Hadlratus Syeikh KH Hasyim Asy’ari untuk melawan penjajah perlu dikontekstualisasikan untuk membangun negara, terutama dalam konteks penguatan demokrasi. Kualitas demokrasi kita memang masih berdinamika. Menurut sorotan internasional, yakni survei Indeks Demokrasi Global oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) 2024, demokrasi Indonesia terkategori sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) dengan skor 6,44. Kelemahan dalam budaya politik (civic culture) dan kebebasan sipil (civil liberties) menjadi penyebab kecacatan itu. Meksipun dalam tilikan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) oleh Badan Pusat Statistik (BPS), indeks demokrasi kita justru mengalami kenaikan dari 79,51 poin (2023) menjadi 79,81 poin (2024). Akan tetapi kita memang sepakat untuk terus menaikkan kualitas demokrasi kita. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan berbagai upaya untuk menguatkan kualitas demokrasi kita. Pada level penguatan budaya politik, KPU telah menginisiasi berbagai program pendidikan politik dan literasi pemilih berkelanjutan. Misalnya pendirian Akademi Pemilihan Umum, hingga literasi pemilu melalui pendekatan budaya popular bagi "Gen Z" di era digital. Kampanye larangan penggunaan politik identitas juga terus digaungkan, termasuk menghindari dan melawan berita bohong (hoaks), politik uang (vote buying). KPU juga melakukan terobosan dengan mengkaji partisipasi masyarat dalam Pemilu dan Pilkada dalam bentuk Indeks Partisipasi Pemilu (IPP). Sebagai salah satu negara mayoritas muslim, penting bagi kita untuk memastikan bahwa praktik Pemilu dan Pilkada yang baik kompatibel dengan nilai-nilai agama (Islam). Dalam kaitan ini, kaum santri penting terlibat, terutama dalam menguatkan budaya politik, budaya demokrasi, dan budaya kewargaan. Hal ini memang telah dilakukan sejak lama oleh kalangan Muslim tradisionalis ini, melalui pengarusutamaan nilai-nilai Islam moderat yang selaras dengan demokrasi, Pancasila dan kebangsaan. Hanya saja, peran kebangsaan yang telah mentradisi ini perlu diletakkan dalam konteks pelaksanaan demokrasi elektoral (pemilu), di mana kaum santri juga bisa berperan sebagai pemilih, peserta, bahkan juga penyelenggara. Praktik pemilu yang baik dengan peran kita sebagai apa pun sejatinya merupakan salah satu cara kita menjaga nilai dan kultur demokrasi yang kompatibel dengan nilai-nilai kaum santri. Sekali lagi, Selamat Hari Santri Nasional! M Afifuddin, Santri, Ketua Komisi Pemilihan Umum RI

ASA UNTUK KPU TANAH DATAR INFORMATIF

Oleh: Gusriyono Anggota KPU Kabupaten Tanah Datar Pertama kali KPU Tanah Datar diundang presentasi dalam Monitoring dan Evaluasi (Monev) Badan Publik Komisi Informasi Sumatera Barat. Sejarah baru bagi badan publik yang dinilai tidak informatif selama ini. Dengan penuh komitmen dan keyakinan untuk informatif, KPU Tanah Datar hadir presentasi di Kantor Komisi Informasi Sumbar, Rabu (15/10/2025) lalu. Sebenarnya, secara faktual KPU Tanah Datar sangat informatif. Tidak ada informasi yang disurukkan. Semuanya dibuka ke publik. Tentu saja, tidak termasuk informasi yang dikecualikan. Keterbukaan informasi publik bagi KPU Tanah Datar sebuah keniscayaan. Disamping pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Peraturan KPU Nomor 22 Tahun 2023 dan perubahannya, Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2024, tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Keniscayaan itu dimulai dengan prinsip penyelenggara dan penyelenggaran pemilu, salah satunya terbuka. Dari prinsip terbuka tersebut, maka KPU Tanah Datar berniat mewujudkan keterbukaan informasi publik dengan penuh komitmen dan konsistensi. Komitmen untuk terbuka ini merupakan peneguhan dari niat baik dalam pelayanan informasi publik. Diwujudkan dalam pelaksanaan regulasi, pelayanan informasi dan dukungan anggaran.  Terkait regulasi, selain melaksanakan undang-undang dan peraturan tentang keterbukaan informasi publik, KPU Tanah Datar telah menetapkan keputusan tentang Struktur PPID dan Daftar Informasi Publik (DIP). Begitu juga dengan komitmen terhadap pelayanan informasi publik, diantaranya, melaksanakan pelayanan informasi publik secara cepat, tepat waktu, sederhana, inklusif dan tanpa biaya (gratis), sesuai standar operasional prosedur serta standar pelayanan informasi publik. Pelayanan informasi secara online melalui e-PPID juga komitmen yang harus dijalankan dengan menyediakan informasi dalam bentuk digital, sehingga mudah diakses dan tanpa biaya. Komitmen lainnya, menyediakan sumber daya manusia dan infrastruktur pelayanan informasi yang memadai, termasuk akses untuk disabilitas dan kelompok rentan lainnya. Dukungan anggaran PPID termasuk komitmen yang harus dipenuhi KPU Tanah Datar. Selama ini PPID dibebankan dalam anggaran layanan perkantoran, belum memiliki anggaran tersendiri. Di masa yang akan datang, berharap PPID KPU Tanah Datar memiliki anggaran tersendiri, sehingga tidak lagi menumpang pada anggaran lain.  Komitmen tersebut mesti dijalankan secara konsistensi. Sebagai lembaga yang hirarkis, KPU selalu mengumumkan informasi tentang pemilu dan pemilihan di setiap tahapan. Pengumuman tersebut dimulai tingkat TPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, hingga KPU RI. Dengan demikian informasi disampaikan secara hirarkis mulai dari kelompok masyarakat terkecil sampai secara nasional. Tidak hanya dengan cara menempel di ruang publik, tetapi juga melalui saluran media pers dan media sosial.  Menariknya lagi, ada permintaan tanggapan masyarakat di setiap pengumuman itu. Artinya, masyarakat bisa melakukan koreksi terhadap pengumuman tersebut. KPU wajib melakukan klarifikasi terhadap tanggapan masyarakat. Secara tidak langsung, ini sebagai bentuk uji publik terhadap informasi yang disampaikan KPU. Sehingga tidak ada informasi yang dipelintir atau tidak benar. Begitu juga dalam pleno terbuka yang dilakukan KPU hingga tingkat adhoc, di setiap tahapan pemilu dan pemilihan. Sesuai tata tertib pleno terbuka, peserta dapat mengoreksi langsung informasi yang disampaikan KPU sebelum ditetapkan. Kemudian, hasil pleno terbuka yang menjadi informasi publik tersebut langsung diserahkan kepada pemangku kepentingan yang hadir. Tidak hanya itu, hasil pleno juga wajib diumumkan ke publik secara real time, baik melalui media mainstream, media sosial, papan pengumuman di ruang publik, dan sebagainya.  Dengan prinsip terbuka, selama tahun 2024, terdapat 15 permohonan informasi yang diminta kepada PPID KPU Tanah Datar. Dari 15 permohonan tersebut, informasi diberikan seluruhnya secara cepat, wajar, dan tanpa biaya. Tidak ada informasi yang diberikan sebagian, ditolak, atau pengajuan keberatan. Rata-rata waktu yang diperlukan PPID KPU Tanah Datar dalam memenuhi permohonan informasi kurang dari 1 hari kerja. Hal yang sama juga di tahun 2025. Dari Januari hingga September, terdapat 5 pemohon yang mengajukan permohonan informasi. PPID KPU Tanah Datar memberikan seluruh informasi sesuai permohonan dalam waktu kurang dari 1 hari kerja, tanpa ada yang diberikan sebagian, ditolak atau keberatan. Inovasi dan Strategi Untuk mencapai predikat informatif, KPU Tanah Datar telah melakukan berbagi inovasi dan strategi. Diantaranya, mempermudah pelayanan informasi melalui aplikasi berbasis website e-PPID, yang dilengkapi dengan fitur chat via WhatsApp dan tools untuk disabilitas. Selain itu, KPU Tanah Datar juga menghimpun seluruh sumber informasi, website dan media sosial, dalam satu saluran linktr.ee SILUDO (Saluran Informasi Pemilu dan Demokrasi), yang bisa diakses dalam sekali klik. Inovasi lainnya, melaksanakan memorandum of understanding (MoU) dengan SMA dan organisasi wartawan atau jurnalis.  Kemudian, menyusun roadmap layanan pemenuhan hak konstitusi pemilih pada pemilu dan pemilihan 2024 sebagai informasi publik. Roadmap ini merupakan mitigasi terhadap penyelenggaraan pemilu dan pemilihan di Tanah Datar sebagai salah satu daerah rawan bencana, seperti erupsi Gunung Marapi, banjir bandang atau galodo, longsor, dan sebagainya. Dalam roadmap ini terdapat jalur distribusi logistik pemilu dan pemilihan dari gudang KPU Tanah Datar hingga TPS, dan sebaliknya. Jalur tersebut dilengkapi dengan titik koordinat, pengawasan, serta jalur alternatif jika terjadi bencana. Di samping itu, juga berisi informasi hak konstitusional pemilih yang harus dilayani penyelenggara saat pemungutan dan penghitungan suara. Publikasi Anggaran di Website Sebagai pengguna anggaran Negara yang berasal dari rakyat, maka kewajiban KPU Tanah Datar memberitahu rakyat berapa uang yang diterimanya dan kemana dibelanjakan. Untuk itu, sebagai inovasi, KPU Tanah Datar memasukkan anggaran dan laporan keuangan sebagai informasi berkala dalam Daftar Informasi Publik. Sehingga rakyat bisa melakukan permohonan informasi secara administratif di PPID terkait anggaran dan laporan keuangan tersebut. Tidak hanya itu, inovasi yang terinspirasi dari Komisi Informasi Sumbar pernah menempelkan anggaran di dinding depan kantornya, maka KPU Tanah Datar mengelaborasi melalui website resmi. Anggaran dan laporan keuangan KPU Tanah Datar dipublikasikan atau ditampilkan di website, sehingga rakyat di belahan dunia mana pun bisa mengunduhnya. Menampilkan anggaran dan laporan keuangan secara terbuka bukan sesuatu yang “haram” bagi KPU Tanah Datar. Sebab, pengelolaan keuangan yang terbuka justru menutup celah untuk perilaku korupsi, kecurigaan publik, dan kejahatan lainnya.  Kolaborasi dengan PJKIP Tanah Datar KPU Tanah Datar, pertama dan satu-satunya KPU Kabupaten/Kota yang menjalin MoU dengan Perkumpulan Jurnalis Keterbukaan Informasi Publik (PJKIP). Sebuah perkumpulan atau forum jurnalis yang konsentrasi dalam keterbukaan informasi publik dan bermitra langsung dengan KI Sumbar. PJKIP Tanah Datar, salah satu PJKIP Kabupaten/Kota yang dibentuk PJKIP Sumbar sebagai perpanjangan tangan di daerah dalam kerja-kerja keterbukaan informasi publik.  Menyadari peran pers atau media sebagai pilar kelima demokrasi, maka KPU Tanah Datar merasa penting untuk berkolaborasi dengan berbagai organisasi wartawan atau jurnalis serta media. Kolaborasi dengan PJKIP Tanah Datar mendorong peningkatan literasi keterbukaan informasi publik, serta penyebaran informasi publik lebih masif dan akurat. Akurasi informasi ini karena pers memiliki mekanisme editorial dalam tata kerjanya. Sehingga informasi yang disebarkan bisa dipercaya. Editorial penting di era distrupsi informasi dan amplifikasi algoritma saat ini. Sebab, demokrasi lahir dari proses editorial atau penyuntingan yang panjang dan bijak. Tidak bisa sesuatu terdemokratisi secara serta merta begitu saja, tanpa ada proses editorial.  Barangkali, inovasi ini yang membedakan KPU Tanah Datar dengan KPU kabupaten/kota lain di Sumbar terkait keterbukaan informasi publik. Melalui inovasi dan strategi yang terus dikembangkan, KPU Tanah Datar menargetkan predikat informatif dalam monev KI Sumbar setiap tahun. Untuk itu, sebagai rencana lanjutan tahun 2025-2026, KPU Tanah Datar akan melakukan penguatan PPID dan kapasitas SDM dalam pengelolaan konten informasi. Melakukan transparansi anggaran secara berkelanjutan dan konsistensi. Peningkatan literasi digital masyarakat dan menekan potensi informasi hoaks.  Penguatan integrasi data antar divisi, serta menjalin kemitraan dengan sekolah dan perguruan tinggi di Tanah Datar untuk pengembangan literasi demokrasi dan informasi.  Presentasi monev keterbukaan informasi publik yang pertama kali ini hendaknya tidak menjadi yang terakhir bagi KPU Tanah Datar. Sebuah keniscayaan dan prinsip bagi KPU Tanah Datar, "hak publik untuk tahu dan kewajiban badan publik untuk memberi tahu." Seperti dua sisi mata uang yang tidak laku apabila dipisahkan. Semoga. (*)

Pemilu Sarana Integrasi Bangsa

Oleh: Ikhwan Arif, Komisioner KPU Kabupaten Tanah Datar Indonesia menerapkan praktik pemilu yang demokratis, negara dalam hal ini menyelenggarakan sistem politik dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman sebagaimana yang tertuang dalam dasar negara yaitu Pancasila. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pemilu sangat sarat dengan perbedaan kepentingan politik baik itu antara kandidat maupun rakyat sebagai pemilih. Adanya kebebasan dalam berpolitik menimbulkan perbedaan berpendapat dan perbedaan argumentasi terhadap informasi-informasi politik, isu-isu politik yang berkembang sehingga hal ini menjadi alarm bagi praktik demokrasi.   Dalam konteks ini, pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan umum presiden (pilpres) 2024 serta pemilihan kepala daerah serentak (Pilkada) 2024, diharapkan terbebas dari keterbelahan publik dan narasi perpecahan. Dibutuhkan narasi politik yang positif dan bijak dalam mengekspresikan kebebasan berpolitik. Berdasarkan pemahaman ini, menurut Henry B Mayo (1960), dalam bukunya yang berjudul Introduction to Democratic Theory, dia mengatakan sistem politik yang demokratis ditentukan oleh kebijaksanaan umum atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala, atas dasar prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Atas dasar sistem yang demokratis ini, rakyat sebagai unsur terpenting dalam sebuah negara memiliki kesamaan dalam hak-hak berpolitik baik untuk dipilih dan memilih wakil-wakil rakyat melalui sistem pemilu yang sudah ditentukan. Kemudian negara membentuk penyelenggara pemilu melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai institusi yang ditunjuk untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu 2024. Menyikapi keberagaman Seiring berjalannya waktu, pemilu terutama dalam konstelasi pilpres dan pilkada serentak, kerap ditumpangi oleh narasi-narasi negatif atau narasi yang berpotensi memecah belah bangsa. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemajemukan dan bukan merupakan bagian dari kebudayaan politik kita. Nilai-nilai kebebasan berpolitik justru disalahartikan. Sehingga pentingnya pemahan yang sama dalam konteks keberagaman dalama mewujudkan pemilu sebagai sarana integrasi bangsa. Masyarakat harusnya menganggap keberagaman (diversity) itu sebagai sesuatu yang wajar. Kita mengakui adanya keberagaman tercermin dalam keanekaragaman pendapat, kepentingan, serta tingkah laku. Untuk itu perlu terselenggaranya masyarakat yang terbuka (open society) dengan tetap menjaga agar tidak melampaui batas, sebab di samping keanekaragaman diperlukan juga persatuan serta integrasi. Berkaca pada Pilpres 2019 munculnya narasi yang bernuansa politik identitas telah menggoreskan luka baru dalam praktik pemilu di Indonesia. Rakyat disuguhkan dengan penggunaan narasi agama sebagai alat politik identitas meskipun pada akhirnya kedua kandidat yang bertarung kembali merajut dan mengupayakan rekonsiliasi politik. Terpilihnya Presiden Jokowi dan KH Ma'aruf Amin pada Pilpres 2019, kemudian rivalnya diangkat menjadi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Sandiga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, justru menunjukkan sebuah proses kedewasaan berpolitik di Indonesia. Nilai persatuan dan kesatuan tetap dijunjung tinggi untuk meredam polarisasi yang terbentuk dalam masyarakat pasca-Pilpres 2019. Meskipun demikian, tidak semua publik menerima upaya rekonsiliasi politik, karena ada narasi politik identitas selama Pilpres 2019. Namun, proses penyembuhan luka tidak secepat upaya rekonsiliasi, akan tetapi membutuhkan waktu yang relatif lama. Dalam dimensi yang berbeda dan konteks yang sama, narasi politik yang bernuansa politik identitas kembali dipertontonkan. Kondisi ini terjadi ketika 'identitas politik' dipersepsikan sebagai 'politik identitas'.  Memang kita dituntut untuk berhati-hati menggunakan identitas politik yaitu identitas agama, suku dan kesamaan daerah dalam kampanye politik. Misalnya menggunakan narasi memilih Presiden Jokowi atas persamaan agama Islam atau memilih presiden atas persamaan orang Jawa, Batak, Sunda, Minang dan suku-suku lainnya. Narasi ini yang kemudian ditafsirkan berbeda, dibungkus dengan unsur kebencian serta menganggap agama dan suku tertentu lebih buruk daripada yang lain. Narasi seperti ini memiliki ruang tersendiri dalam pemilu dan pilkada serentak tahun 2024. Jika terus diproduksi dan secara berulang dipertontonkan akan merusak nilai-nilai kemajemukan. Secara sosiologis narasi ini menyasar terhadap struktur sosial masyarakat yang berdasarkan faktor agama, suku, ras dan faktor daerah. Jika dilihat pada kondisi terkini, ruang gerak dan porsi politik identitas memang jauh berbeda pada Pemilu 2019. Pasalnya di 2019 kandidat yang bertarung terbelah menjadi dua poros koalisi. Dua poros koalisi menimbulkan ketimpangan dan keterbelahan politik seperti bambu dibelah dua, bahkan seperti jurang pemisah antara dua kutub politik yang berbeda. Ketajaman politik identitas 2019 dinilai menurun di pemilu dan pilkada serentak tahun 2024. Berdasarkan pada pengamatan dan dinamika peta koalisi serta penjajakan poros koalisi pemilu tahun 2024, terbentuknya tiga koalisi yang terdiri dari tiga pasang kandidat, dapat mengurangi ketajaman politik, dengan demikian politik identitas akan tergerus, sehingga menghambat ruang gerak berkembangnya narasi politik yang memecah belah bangsa. Realitasnya, masing-masing poros koalisi yang sudah terbentuk, memiliki representasi politik baru untuk mewakili aspirasi mereka di ruang publik melalui narasi politik kebangsaan. Melalui narasi kebangsaan ini, politik identitas akan tergerus secara perlahan dan menciptakan pemahan yang sama terhadap keberagaman sehingga pemilu dan pilkada serentak berjalan dengan baik sesuai dengan tagline KPU yaitu pemilu sarana integrasi bangsa. Misalnya Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar, mengedepankan politik perubahan yang diusung oleh paratai NasDem, PKB dan PKS. Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung Prabowo dan Gibran menggunakan narasi pembangunan berkelanjutan dan menyatukan kekuatan nasionalis dan religius, yang diusung oleh partai Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat. Kemudian PDIP yang sering disebut koalisi tunggal, karena memenuhi syarat ambang batas pencalonan (presidential threshold) untuk mengusung kandidat sendiri tanpa berkoalisi dengan partai politik lain. Pada saat pendaftaran capres dan cawapres, PDIP dan PPP berkoalisi mengusung Ganjar dan Mahfud, yang disibukkan dengan narasi menuntaskan program kerja di akhir masa jabatan Presiden Jokowi. Berdasarkan pada narasi politik yang dibangun, masing-masing poros koalisi mengusung nama-nama calon dengan komposisi tiga pasang calon kandidat sehingga polarisasi seperti head to head dua pasang calon di Pemilu 2019 dapat dihindari di pemilu tahun 2024. Selain itu, juga sulit menciptakan narasi yang bernuansa memecah belah bangsa. Masing-masing poros koalisi membentuk narasi positif berdasarkan narasi politik kebangsaan, melalui figur atau tokoh yang mampu mendistribusikan nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Dengan memilih figur atau sosok yang tepat, narasi persatuan dijamin akan terdistribusi dengan baik mulai dari tingkat elite politik sampai kepada tingkat akar rumput atau daerah. Untuk merealisasikan narasi politik persatuan dan narasi integrasi bangsa harus ada peran pengawasan penyelenggara pemilu baik itu KPU maupun Bawaslu. Penyelenggara pemilu mempunyai peran penting dalam membantu masyarakat agar tidak terjebak dalam narasi perpecahan misalnya KPU mensosialisasikan kepada para pemilih pentingnya memilih dan menghindari politik identitas. Sedangkan Bawaslu melalui aturan-aturan yang dibentuk menjalankan aturan pengawasan yang efektif dan menyasar pada politik identitas. Jangan sampai dilupakan pentingnya pendidikan politik atau sosialisasi politik dari partai politik. Lalu elite politik yang tergabung dalam poros koalisi partau politik mengupayakan proses integrasi bangsa dengan menawarkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang kemudian diproduksi melalui narasi positif persatuan kepada masyarakat. Menempatkan nilai-nilai keberagaman dan semangat persatuan dalam konteks pemilu atau pemilihan, akan membantu proses konsolidasi politik dan pendistribusian kepentingan politik secara menyeluruh. Dengan begitu calon pemimpin masa depan, dihasilkan melalui proses demokrasi yang bernilai tinggi. Dengan semangat optimisme serta emosional rasa persatuan dan persaudaraan, narasi positif akan cenderung menarik daripada percakapan tentang perpecahan, kebencian, dan adu domba yang diproduksi oleh kelompok-kelompok tertentu.

Data Pemilih Ada di Genggaman Tangan

oleh: Dwi Prasetyo Anggota KPU Kabupaten Wonogiri Divisi Perencanaan Data dan Informasi Pengguna telepon pintar (smartphone) tentu tidak asing lagi dengan aplikasi. Menurut muba teknologi.com Aplikasi adalah suatu perangkat lunak (software) yang mempunyai beberapa fitur tertentu dengan cara yang dapat diakses oleh pengguna. Ada banyak sekali aplikasi yang dibuat untuk memudahkan dan memberikan kenyamanan dalam semua bidang, baik itu di dunia pendidikan, kesehatan, hiburan,dan lain sebagainya. Perusahaan riset Data Reportal mengungkapkan jumlah perangkat seluler yang terkoneksi di Indonesia mencapai 370,1 juta pada Januari 2022. Hal tersebut menunjukan antara jumlah penduduk di Indonesia dan kepemilikan smartphone lebih banyak smartphonenya. Sejak peluncuran pertama yakni 23 Februari 2022 aplikasi Lindungi Hakmu telah di unduh oleh 10 ribu orang dengan 4,9 persen bintang, 110 ulasan, rating 3+. Ulasan para pengunduh banyak yang memberikan apresiasi terhadap hadirnya aplikasi Lindungi Hakmu. Apabila dibandingkan dengan pengguna smartphone 370,1 juta tentu jumlah pengunduh aplikasi Lindungi Hakmu masih sangat kecil sekali. Menengok beberapa aplikasi di playstore seperti PeduliLindungi di unduh 50 juta lebih, 882 ulasan, 4,3 bintang, rating 3+,  Whatsapp Messenger diunduh sebanyak 5 Miliar lebih, 4,3 bintang, 160 juta ulasan, rating 3+, youtobe di unduh 10 Miliar lebih, 136 juta ulasan, rating 12+ maka aplikasi Lindungi Hakmu perlu lebih giat dalam sosialisasinya. Upaya untuk mendongkrak penggunaan aplikasi ini tidak lain yakni dengan sosialisasi yang masif. Sosialisasi kepada pemangku kepentingan (stakeholder), dunia Pendidikan, kesehatan, sosial, keagamaan dan seterusnya. Menjadikan aplikasi Lindungi Hakmu sebagai kebutuhan pokok suatu instansi tentu, kebutuhan pokok masyarakat, kebutuhan pokok pemilih pemula dan kebutuhan pokok pemilih pada umumnya sehingga keberadaan aplikasi akan dicari oleh pengguna. Mengenal Fitur Aplikasi Lindungi Hakmu Pertama rekapitulasi, dengan menginstal aplikasi Lindungi Hakmu kita bisa mengetahui berapa jumlah Daftar Pemilih Tetap secara nasional saat ini, Daftar Pemilih Tetap di 36 provinsi, Daftar Pemilih Tetap di 514 kabupaten/ kota, Daftar Pemilih Tetap di 7.094 Kecamatan, Daftar Pemilih Tetap di 8.490 Kelurahan dan Daftar Pemilih Tetap 74.957 desa diseluruh wilayah Indonesia termasuk byname di masing-masing Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kedua, daftar jadi pemilih. Dari genggaman tangan pemilih dapat mengecek keberdaannya, apakah sudah terdaftar dalam daftar pemilih ataukah belum. Apabila belum terdaftar pemilih dapat memberikan masukan dengan mengirimkan data dirinya melalui aplikasi Lindungi Hakmu tersebut. Cukup mengisi formulir yang disertai data dukung foto Kartu Tanda Penduduk elektronik,  Kartu Keluarga serta foto selfie. Ketiga, Lapor Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Pemilih dapat memberikan masukan kepada komisi pemilihan umum terhadap pemilih yang sudah tidak memenuhi persyaratan (TMS) dikarenakan pindah keluar,meninggal, ganda, tidak dikenal, TNI/Polri, maupun bukan penduduk. Urgensi Aplikasi Lindungi Hakmu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum pasal 14, 17, dan 20 mengamanahkan Komisi Pemilihan Umum baik tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten /kota untuk melakukan Pemutakhiran Daftar Pemilih Berkelanjutan (PDPB). Dalam pelaksanaannya KPU tingkat kabupaten/kota menemui banyak kendala, di antaranya kesulitan memperoleh data pemilih yang Tidak Memenuhi Syarat(TMS), ubah elemen data dan potensi pemilih baru. Dengan aplikasi Lindungi Hakmu mobile ini, diharapkan KPU kabupaten/kota dapat menerima masukan dari masyarakat langsung sehingga memudahkan kerja-kerja KPU. (*)

Publikasi